Begini Peta Investasi Properti di Inti ASEAN

Peta investasi properti di tiga negara inti ASEAN cukup beragam di tengah perang dagang Amerika Serikat dan sejumlah negara di dunia, termasuk China/foto: landbank.co.id

Jakarta, landbank.co.id– Peta investasi properti di tiga negara inti ASEAN cukup beragam di tengah perang dagang Amerika Serikat dan sejumlah negara di dunia, termasuk China.

Ketiga negara inti di ASEAN itu adalah Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Bacaan Lainnya

Faktor kunci dalam investasi property di tiga negara inti ASEAN itu dinilai terdiri atas stabilitas nilai tukar, arah kebijakan negara, dan kualitas permintaan domestik.

Selama satu dekade terakhir, dinamika harga properti di tiga negara inti ASEAN telah mencerminkan bukan hanya perbedaan struktural dalam fondasi ekonomi masing-masing negara, tetapi juga respons yang berbeda terhadap tekanan global seperti pandemi, inflasi, dan perubahan nilai tukar.

Baca juga: Properti Diprediksi Tumbuh Stabil di 2025 Meski Dihadapkan Ketidakpastian Global

Menganalisis perbedaan ini bukan sekadar studi statistik, tetapi jendela untuk memahami peta investasi regional yang lebih cerdas dan rasional, khususnya bagi investor yang mempertimbangkan diversifikasi lintas negara.

Meski begitu menurut laporan riset ekuitas dari DBS Group, pasar properti Singapura akan menghadapi ujian besar berikutnya di tengah perang dagang yang sedang berlangsung antara AS dan China, serta ketidakpastian terkait tarif global yang diberlakukan Presiden AS, Trump.

“Sebagai ekonomi yang bergantung pada perdagangan, Singapura kemungkinan besar akan merasakan tekanan,” sebut laporan yang dirilis pada 23 April 2025 tersebut dikutip dari Antara.

DBS Group mencatat Indeks Harga Properti di Singapura secara keseluruhan naik 0,6 persen pada kuartal I 2025, melambat dibandingkan pertumbuhan 2,3 persen yang tercatat pada kuartal sebelumnya.

Mengingat potensi penurunan permintaan, DBS telah merevisi proyeksi pertumbuhan harga properti di Singapura untuk tahun 2025 menjadi antara 0 persen hingga 1 persen, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya di kisaran 1 persen hingga 2 persen

Bagaimanapun Singapura, sebagai pusat keuangan regional dan global, diprediksi akan tetap menunjukkan konsistensi dalam kenaikan harga properti yang didukung oleh stabilitas ekonomi, kepadatan urban, dan permintaan dari kelas atas.

Selama ini, kenaikan kumulatif sekitar 53,5 persen selama sepuluh tahun dengan pertumbuhan riil 20–25 persen menjadi indikator kuat bahwa properti di “negara-kota” ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, melainkan juga simbol prestise dan alat lindung nilai.

Ketahanan harga di sektor properti publik, terutama HDB, yang naik 9,6 persen dalam setahun terakhir, menggarisbawahi kekuatan permintaan domestik yang terjaga.

Dalam konteks regional, Singapura menjadi outlier yang hampir tidak terpengaruh oleh inflasi dan depresiasi nilai tukar, dengan SGD hanya berfluktuasi 2,3 persen dalam sepuluh tahun.

Sebaliknya, Malaysia dan Indonesia menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Malaysia mencatat pertumbuhan nominal properti sebesar 47,7 persen, tetapi bila disesuaikan dengan inflasi dan depresiasi MYR yang signifikan dari 3,3 menjadi 4,4 terhadap USD, maka nilai riilnya nyaris stagnan.

Pasar properti Malaysia memang dilaporkan mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan nilai transaksi properti melebihi 217,46 miliar ringgit Malaysia pada awal tahun 2024, melampaui target awal, menurut New Straits Times.

Struktur pasar Malaysia menunjukkan dualitas yang tajam, over-supply properti mewah yang lesu dan kelangkaan hunian terjangkau yang sangat diminati.

Fenomena ini mengindikasikan ketimpangan dalam arah pembangunan properti yang tidak sepenuhnya sinkron dengan permintaan aktual masyarakat.

Kebijakan seperti Malaysia My Second Home (MM2H) memang menarik investasi asing, tetapi tidak cukup untuk menggerakkan seluruh pasar secara inklusif.

Indonesia lebih kompleks lagi. Dengan pertumbuhan harga properti hanya sekitar 20 persen secara nominal dan beberapa tahun mencatat penurunan riil setelah disesuaikan inflasi, Indonesia menjadi negara dengan performa terlemah dalam investasi properti di kawasan inti ASEAN.

Depresiasi rupiah terhadap dolar AS dari 12.500 ke 16.500, sebesar 33 persen, memperburuk imbal hasil riil bagi investor asing. Bahkan di sektor apartemen mewah di Jakarta yang relatif stabil, volume transaksi tetap rendah.

Namun, ada anomali positif, kawasan sekitar proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat menunjukkan pertumbuhan dua digit, membuktikan bahwa investasi berbasis konektivitas fisik masih menjanjikan.

Sektor properti wisata di Bali juga mulai pulih dengan imbal hasil sewa 5–7 persen, menjadikannya titik terang yang potensial dalam lanskap yang cenderung lesu.

 

Faktor kunci

Jika dicermati, penyebab utama disparitas ini berasal dari tiga faktor kunci mencakup stabilitas nilai tukar, arah kebijakan negara, dan kualitas permintaan domestik.

Singapura unggul karena semua faktor ini mendukung secara simultan. Malaysia setengah berhasil karena kebijakan pro-investor tidak diimbangi dengan dinamika sosial-ekonomi lokal yang cukup kuat.

Indonesia, meskipun pasar domestiknya besar, belum mampu mengoptimalkan potensi ini menjadi pertumbuhan harga properti yang solid karena lemahnya daya beli, disparitas regional, dan ketidakpastian regulasi.

Pos terkait