Begini Peta Investasi Properti di Inti ASEAN

Peta investasi properti di tiga negara inti ASEAN cukup beragam di tengah perang dagang Amerika Serikat dan sejumlah negara di dunia, termasuk China/foto: landbank.co.id

Meski begitu, Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia (AGRA) Roy N. Mandey mengatakan, sektor properti di Indonesia diproyeksikan tetap tumbuh stabil di tahun 2025 meski saat ini dunia sedang dalam gejolak ketidakpastian global karena berbagai hal seperti perang tarif.

“Investasi properti pada sektor residensial dan komersial diprediksi tumbuh 15-18 persen yoy pada 2025, dengan kontribusi terhadap PDB meningkat dari 10 persen pada 2024, menjadi 11,5 persen pada 2025,” kata Roy N. Mandey dikutip Minggu, 27 April 2025.

Bacaan Lainnya

Hal yang tak kalah penting adalah pilihan instrumen investasi. Dengan harga properti di lokasi inti seperti Marina Bay, Segitiga Emas Jakarta, dan pusat Kuala Lumpur yang menembus puluhan miliar rupiah atau jutaan dolar, sebagian besar investor ritel praktis terpinggirkan.

Maka untuk itulah dalam perkembangannya keberadaan Real Estate Investment Trusts (REITs) menjadi alternatif yang sangat rasional.

Baca juga: Efisiensi Anggaran Pemerintah Pusat Picu Penutupan Hotel di Bogor, Pelaku Usaha Properti Terpukul

REITs merupakan suatu perangkat (wadah) investasi yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam aset real estat oleh Manajer Investasi.

Instrumen ini memberi kesempatan kepada investor kecil untuk memiliki aset real estat berkualitas baik dan pada saat yang sama menikmati keuntungan sebagaimana yang diperoleh pemilik Reksa Dana. Di sisi yang lain, REIT memberikan kesempatan kepada pengembang untuk mengakses pendanaan melalui pasar modal.

Singapura dan Malaysia memiliki pasar REITs yang jauh lebih matang dibandingkan Indonesia.

Di Singapura, REITs seperti CapitaLand Ascendas mencatat pertumbuhan harga saham lebih dari 100 persen dalam sepuluh tahun, dengan imbal hasil dividen 6–7 persen per tahun.

Jika digabungkan, total imbal hasil mencapai 200 persen, atau setara dengan 11,6 persen per tahun, angka yang luar biasa bila dibandingkan dengan properti fisik yang memberikan return 4–5 persen saja.

Indonesia tertinggal jauh dalam hal ini. Pasar REITs domestik masih terbatas, dengan mayoritas belum listing, likuiditas rendah, dan minim partisipasi institusi global.

Ini mencerminkan kurangnya insentif regulasi dan minimnya kesadaran masyarakat tentang bentuk investasi ini. Padahal, bagi investor yang menginginkan fleksibilitas, likuiditas tinggi, dan ambang modal masuk yang rendah, REITs adalah pilihan unggulan.

Bahkan dalam kondisi krisis, REITs masih lebih cepat dilikuidasi dibanding properti fisik, yang bisa memerlukan waktu berbulan-bulan untuk dijual.

 

Strategi tepat

Rengganis K. Wisaksono dan Prof. Emmy Pangaribuan SH dalam kajiannya berjudul Perspektif “Real Estate Investment Trust” (REIT) dalam hukum pasar modal di Indonesia yang diterbitkan UGM pada 2006 disebutkan bahwa REIT memiliki prospek yang baik di Indonesia sejauh terdapat regulasi yang mendukung dan mengakomodasi kebutuhan pelaku pasar.

Selain itu, juga dibutuhkan peraturan perpajakan yang memberikan insentif penghapusan pajak di tingkat perusahaan dengan syarat bahwa REIT harus memiliki basis kepemilikan yang luas dan sebagian besar pendapatan REIT harus didistribusikan dalam bentuk dividen kepada investor.

Namun demikian, penting juga dipahami bahwa REITs bukan saham biasa. Meskipun diperdagangkan di bursa, REITs mewakili instrumen pendapatan pasif dari kepemilikan properti produktif, bukan spekulasi harga murni seperti saham teknologi atau komoditas.

Logika investasinya serupa dengan memiliki properti fisik, mengandalkan pendapatan sewa dan apresiasi aset, namun tanpa kerepotan manajemen langsung atau biaya-biaya yang tersembunyi seperti pajak bumi dan bangunan, perawatan, dan broker fee.

Dari seluruh analisis ini, satu hal menjadi terang bahwa investasi properti bukan hanya soal lokasi dan harga, tetapi juga strategi dan struktur.

Dalam konteks ASEAN, Singapura menawarkan kestabilan, Malaysia menjanjikan peluang diferensiasi, dan Indonesia menyimpan potensi transformasi jangka panjang.

Namun, untuk saat ini, bagi investor dengan modal terbatas, pendekatan melalui REITs terutama di Singapura adalah jalur paling efisien.

Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki likuiditas besar dan kesiapan jangka panjang, properti di lokasi inti tetap menjadi primadona yang nyaris tak tergantikan.

Dengan kata lain, keputusan berinvestasi di sektor properti bukan semata pilihan antara lokasi atau harga, melainkan pilihan antara likuiditas dan pertumbuhan.

Dan pada akhirnya, investasi yang cerdas selalu dimulai dari pemahaman mendalam terhadap konteks ekonomi, bukan sekadar iming-iming keuntungan.

 

(*)

Pos terkait