Jakarta, landbank.co.id– Konsultan properti Colliers Indonesia menyatakan bahwa ruang kantor kosong alias belum memiliki penyewa di Jakarta menyentuh di atas 2 juta meter persegi (m2).
“Total pasok ruang kantor di Jakarta seluas 11,4 juta meter persegi hingga kuartal ketiga 2025, sedangkan kekosongan di atas 2 juta meter persegi,” urai Ferry Salanto, head of Research Colliers Indonesia dalam paparan virtual di Jakarta, baru-baru ini.
Dia menambahkan, ruang kantor yang masih kosong umumnya di gedung kelas A dan terletak di CBD Jakarta.
Kekosongan itu terjadi mengingat tingkat hunian rata-rata atau okupansi ruang kantor di Kawasan pusat bisnis (central business district/CBD) Jakarta hingga kuartal ketiga 2025 masih bertengger di angka 75,3 persen.
Angka itu, tambah Ferry, sudah lebih baik bila disandingkan dengan okupansi tahun 2024.
Okupansi ruang kantor di CBD Jakarta diperkirakan tak jauh berbeda hingga akhir 2025.
Baca juga: Minat Terhadap Gedung Perkantoran Berkualitas Tinggi Meninggi
“Namun, untuk okupansi di luar CBD Jakarta cenderung lebih stabil,” katanya.
Melihat Tingkat kekosongan tersebut para pengembang properti umumnya masih menunggu munculnya permintaan yang signifikan untuk alasan membangun ruang kantor baru di Jakarta.
Menurut Ferry, saat ini, sudah terlihat mulai ada permintaan, namun jumlah permintaan dan pasokan kesejangannya (gap) masih lebar
“Sehingga pengembang masih banyak pertimbangan untuk mewujudkan proyek mereka. Kami melihat hingga tahun 2028 tidak ada pasokan baru, terutama di central business district (CBD) Jakarta,” jelas dia.
Baca juga: Okupansi Green Office Nyaris 80 Persen
Dalam catatan Colliers Indonesia, hingga tahun 2027, pasok ruang kantor di CBD Jakarta sangat terbatas, bahkan tidak ada. Pasokan baru ada mulai tahun 2028.
Selama rentang 2024-2027, pasok baru ada di luar CBD yakni total 124 ribu m2 pada 2025. Lalu, tahun 2026, sekitar 50 ribu m2.
Perkantoran Hijau
Sementara itu, kata Ferry, perusahaan multi nasional (multi national corporation/MNC) lebih banyak mencari Gedung perkantoran bersertifikat hijau (green building).
“Kalangan MNC kian banyak mencari gedung yang bersertifikat green building. Sektor yang aktif mencari ruang kantor antara lain dari Perusahaan teknologi, tambang, energi, dan sektor yang berelasi dengan layanan finansial,” papar dia.
Dia menambahkan, pada umumnya, permintaan itu datang dari keperluan relokasi atau perpindahan kantor dari gedung lama ke gedung baru atau datang dari mereka yang melakukan ekspansi.
“Secara umum kegiatan transaksi ruang kantor itu datang dari korporasi yang sudah beroperasi,” jelas Ferry.
Saat ini, jelas dia, selisih harga yang ditawarkan (ask price) dengan harga yang ditransaksikan kian mengecil. Saat pandemi Covid, gap-nya lebih lebar.
Gap lebar itu dipicu karena para penyewa (tenant) butuh ruang atau space yang besar dan masuk ke gedung dengan okupansi rendah.
“Atau, tenant yang mau masuk punya nama, sehingga sangat mengoreksi harga ketika itu,” ujarnya.
Baca juga: Okupansi Perkantoran di CBD Jakarta 75 Persen
Kini, tambah Ferry, kondisinya berubah terutama karena beberapa gedung premium okupansinya membaik sehingga selisih harga penawaran dan transaksi kian mengecil.
Di sisi lain, tutur dia, bIaya pemeliharaan kantor akan naik tahun 2026 karena biaya operasional kian tinggi terutama karena okupansi naik dan biaya lain.
“Kemungkinan service charge juga akan naik tahun depan,” ungkap Ferry.
Prospek keseluruhan bisnis ruang perkantoran di Jakarta tetap hati-hati, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang moderat.
Baca juga: Pasokan Minim Bisa Dongkrak Okupansi Perkantoran
“Namun, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat, tercermin dari sedikit peningkatan permintaan,” dilansir riset Colliers Indonesia.
Riset itu juga menulis bahwa para pemilik properti berfokus pada strategi untuk meningkatkan hunian, termasuk harga yang kompetitif dan skema insentif untuk menarik penyewa baru.
(*)