“Kalangan MNC kian banyak mencari gedung yang bersertifikat green building. Sektor yang aktif mencari ruang kantor antara lain dari Perusahaan teknologi, tambang, energi, dan sektor yang berelasi dengan layanan finansial,” papar dia.
Dia menambahkan, pada umumnya, permintaan itu datang dari keperluan relokasi atau perpindahan kantor dari gedung lama ke gedung baru atau datang dari mereka yang melakukan ekspansi.
“Secara umum kegiatan transaksi ruang kantor itu datang dari korporasi yang sudah beroperasi,” jelas Ferry.
Saat ini, jelas dia, selisih harga yang ditawarkan (ask price) dengan harga yang ditransaksikan kian mengecil. Saat pandemi Covid, gap-nya lebih lebar.
Gap lebar itu dipicu karena para penyewa (tenant) butuh ruang atau space yang besar dan masuk ke gedung dengan okupansi rendah.
“Atau, tenant yang mau masuk punya nama, sehingga sangat mengoreksi harga ketika itu,” ujarnya.
Baca juga: Okupansi Perkantoran di CBD Jakarta 75 Persen
Kini, tambah Ferry, kondisinya berubah terutama karena beberapa gedung premium okupansinya membaik sehingga selisih harga penawaran dan transaksi kian mengecil.
Di sisi lain, tutur dia, bIaya pemeliharaan kantor akan naik tahun 2026 karena biaya operasional kian tinggi terutama karena okupansi naik dan biaya lain.
“Kemungkinan service charge juga akan naik tahun depan,” ungkap Ferry.
Prospek keseluruhan bisnis ruang perkantoran di Jakarta tetap hati-hati, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang moderat.
Baca juga: Pasokan Minim Bisa Dongkrak Okupansi Perkantoran
“Namun, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat, tercermin dari sedikit peningkatan permintaan,” dilansir riset Colliers Indonesia.
Riset itu juga menulis bahwa para pemilik properti berfokus pada strategi untuk meningkatkan hunian, termasuk harga yang kompetitif dan skema insentif untuk menarik penyewa baru.
(*)