Jakarta, landbank.co.id – Setelah reli panjang yang membuat harga emas dunia terus menanjak ke rekor tertinggi, logam mulia akhirnya terkoreksi pada akhir pekan.
Pelemahan tersebut terjadi seiring mulai meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang sebelumnya menjadi pemicu utama lonjakan harga emas global.
Berdasarkan pantauan landbank.co.id dari data perdagangan, harga emas dunia ditutup melemah 1,73% ke posisi US$4.250,91 per troy ons pada perdagangan Jumat, 17 Oktober 2025.
Penurunan itu mematahkan reli penguatan emas yang telah berlangsung selama lima hari beruntun sejak 10 Oktober 2025.
Kendati demikian, secara mingguan harga emas masih mencatat kenaikan 5,76%, memperpanjang tren penguatan selama sembilan pekan berturut-turut.
Ini menunjukkan bahwa sentimen positif terhadap emas masih cukup kuat di tengah ketidakpastian global dan spekulasi kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed).
Pelemahan harga emas kali ini terjadi setelah pasar merespons meredanya tensi perdagangan antara AS dan China. Presiden AS Donald Trump menyebut rencana pengenaan tarif 100% terhadap produk asal China “tidak berkelanjutan”, memberikan sinyal positif bahwa hubungan kedua negara bisa mencair menjelang pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping.
Meski begitu, Trump tetap menuding Beijing sebagai penyebab kebuntuan dalam negosiasi, terutama karena pengendalian ekspor logam tanah jarang (rare earth) yang dianggap terlalu ketat. Meskipun retorika keras masih terdengar, pasar menilai situasi tidak akan meningkat menjadi konflik dagang baru dalam waktu dekat.
Sepanjang 2025, harga emas telah melonjak lebih dari 60%, dipicu oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, penutupan sementara pemerintahan AS (government shutdown), dan ketegangan geopolitik global yang mendorong investor mencari aset lindung nilai.
Selain faktor makroekonomi, pembelian emas oleh sejumlah bank sentral dunia dan meningkatnya arus dana ke produk Exchange Traded Fund (ETF) berbasis emas juga memperkuat reli jangka panjang logam mulia tersebut.
“Selama kebijakan moneter global masih menuju pelonggaran dan risiko geopolitik belum benar-benar reda, emas tetap akan menjadi aset favorit investor,” kata Andy Nugraha, Analis Dupoin Futures Indonesia.
Menurut Andy, penurunan saat ini masih bersifat teknikal dan wajar setelah reli panjang.
“Koreksi seperti ini justru memberikan ruang sehat bagi pasar untuk membentuk level harga baru sebelum melanjutkan penguatan ke area US$4.300–US$4.400 per troy ons,” ujarnya.
Sejumlah analis memperkirakan harga emas akan kembali menguat dalam jangka menengah, terutama jika The Fed benar-benar memangkas suku bunga acuan pada pertemuan mendatang.
Suku bunga yang lebih rendah biasanya menekan imbal hasil dolar AS, sehingga meningkatkan daya tarik emas sebagai aset tanpa yield.
Meski demikian, pelaku pasar diimbau tetap waspada terhadap volatilitas harga. Jika hubungan dagang AS–China kembali memanas atau The Fed mengirim sinyal hawkish, tekanan jual terhadap emas bisa meningkat lagi.
(*)