Dia menegaskan, karena inventaris yang belum terjual masih tinggi, harga tetap relatif stabil. Kondisi di mana biaya konstruksi tinggi serta kinerja penjualan yang lambat membuat pengembang lebih berhati-hati dalam meluncurkan proyek baru.
Menurut Martin, selama sentimen pembelian di sektor kondominium belum membaik, para pengembang belum cukup percaya diri untuk mengambil risiko dalam mengembangkan proyek baru.
Selain itu, dengan mempertimbangkan ketidakpastian ekonomi saat ini dan juga isu daya beli pada segmen pasar massal, peningkatan kinerja penjualan menjadi tantangan tersendiri bagi para pengembang, meskipun beberapa indikator pendukung telah tersedia, seperti suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang kompetitif dan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang diperpanjang untuk unit hunian yang sudah ada.
Terkait PPN DTP, insentif ini diberikan 100 persen untuk harga jual sampai dengan Rp2 miliar dengan serah terima dalam rentang 1 Januari 2025 sampai dengan 30 Juni 2025.
Baca juga: Leads Property: Ada 10.444 Apartemen Sewa di Jakarta
Lalu, untuk serah terima rentang 1 Juli 2025 sampai dengan 31 Desember 2025, insentif PPN DTP sebesar 50 persen harga jual sampai dengan Rp2 miliar.
Martin mengatakan, agar permintaan meningkat, pembeli perlu untuk lebih mempertimbangkan untuk memilih hunian vertikal di Jakarta dibandingkan rumah tapak di pinggiran kota dengan kisaran harga yang lebih rendah.
“Perlu dicatat bahwa strategi pemberian diskon harga yang signifikan (misalkan hingga 20 persen) mungkin perlu diuji kembali, karena strategi ini terbukti berhasil dalam menyerap permintaan, sebagaimana dilakukan oleh para pengembang pada tahun 2021–2022,” saran Martin.
(*)