Jakarta, landbank.co.id-Jumlah masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal layak huni, terlebih rumah terjangkau masih cukup besar di Indonesia.
Tingginya kebutuhan rumah terjangkau alias harganya ramah dengan kocek masyarakat dapat terlihat dari jumlah backlog hunian yang masih di posisi 9,9 juta unit.
Praktis, ketersediaan rumah terjangkau dibutuhkan, terlebih di perkotaan yang dibayangi oleh tingginya harga lahan.
Karena itu, kata Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, pemerintah akan membangun rumah dalam jumlah besar.
“Mudah-mudahan segera akan dilaksanakan. Kita akan melakukan pembangunan perumahan besar-besaran,” ujar Presiden Prabowo Subianto saat memberikan pidato dalam Pengukuhan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.
Sebagaimana sering diberitakan landbank.co.id, program pembangunan rumah skala besar itu termaktub dalam Program Tiga Juta Rumah.
“Program Tiga Juta Rumah mencakup pembangunan dan renovasi rumah,” kata Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait di Jakarta, belum lama ini.
Terkait rumah terjangkau, khususnya rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah membuat batasan harganya.
Batasan harga jual maksimal rumah subsidi diatur berdasarkan zonasi dengan rentang harga berkisar Rp166 juta hingga Rp240 juta per unit.
Menurut Direktur Jenderal Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, pemerintah tengah aktif berkoordinasi dengan mitra kerja, termasuk asosiasi pengembang dan bank penyalur dana bantuan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Baca juga: Begini Komentar Bank Dunia Soal Program Tiga Juta Rumah
Dia menjelaskan bahwa saat ini pemerintah merancang formula baru terkait ukuran dan spesifikasi rumah subsidi guna menekan harga dan meningkatkan aksesibilitas MBR terhadap hunian.
“Kami ingin memastikan bahwa rumah subsidi bisa semakin terjangkau bagi masyarakat yang membutuhkan, tanpa mengorbankan kualitas dan kenyamanan,” ujar Sri Haryati dilansir laman BP Tapera.
Keadian dan Martabat
Sementara itu, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Ossy Dermawan, menyebutkan ada tiga pilar utama pendekatan strategis Kementerian ATR/BPN dalam mendukung penyediaan rumah terjangkau.
Dia mengatakan, untuk memastikan bahwa rumah terjangkau tidak hanya sekadar bangunan, tapi bagian dari kehidupan kota yang layak dan terhubung.
“Kami mengedepankan tiga pilar utama, yaitu pengembangan dan konsolidasi tanah, pembangunan berorientasi transit atau TOD, serta perencanaan spasial terpadu,” ujar Wamen Ossy dalam Panel Tematik “Homes Within Reach: Pathing Our Way to Affordable, Connected Urban Living” dalam rangkaian International Conference on Infrastructure (ICI) 2025, di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.
Menurut Wamen Ossy, penyediaan rumah terjangkau merupakan persoalan kompleks yang tidak dapat dipisahkan dari isu pertanahan, konektivitas, dan tata ruang.
Oleh karena itu, strategi yang diterapkan Kementerian ATR/BPN bersifat holistik dan lintas sektor.
Wamen Ossy menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama dalam penyediaan rumah di perkotaan adalah ketersediaan lahan yang terjangkau dan bebas sengketa.
Untuk itu, pihaknya mendorong penerapan Konsolidasi Tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2019 dan Nomor 18 Tahun 2024.
“Dengan Konsolidasi Tanah, kami bisa mengorganisasi bidang-bidang yang terfragmentasi menjadi kawasan pembangunan yang terencana. Ini memungkinkan penyediaan perumahan lengkap dengan infrastruktur, tanpa menghilangkan hak masyarakat,” ujar Wamen Ossy dilansir laman ATR/BPN.
Pilar kedua adalah penerapan prinsip transit oriented development (TOD), yakni pengembangan kawasan yang mengintegrasikan perumahan, pekerjaan, dan layanan publik di sekitar simpul transportasi massal dalam radius berjalan kaki 400–800 meter.
Baca juga: Prabowo akan Bangun Rumah Besar-besaran
Dia mencontohkan proyek TOD di Dukuh Atas dan Harmoni, Jakarta, yang menjadi pusat integrasi berbagai moda transportasi sekaligus kawasan berorientasi hunian inklusif.
“TOD bukan sekadar solusi spasial, tapi juga keadilan sosial. Ketika warga tinggal dekat transportasi dan tempat kerja, mereka tidak lagi menanggung beban akibat keterpisahan,” tegas Ossy Dermawan.
Pilar terakhir adalah penyelarasan perencanaan spasial dengan kebijakan pembangunan perumahan nasional.
Wamen Ossy menegaskan, Kementerian ATR/BPN telah mengintegrasikan isu perumahan dalam kerangka tata ruang nasional, termasuk mempertimbangkan aspek lingkungan, risiko bencana, serta potensi ekonomi lokal.
“Melalui sistem geospasial terintegrasi, kami bisa memastikan bahwa pengembangan perumahan benar-benar selaras dengan tujuan nasional, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun ekonomi,” ungkap Wamen Ossy.
Baca juga: Data Backlog Perumahan Terbaru, Jakarta Tembus Satu Juta
Menutup paparannya, Wamen ATR/Waka BPN menekankan bahwa rumah terjangkau bukan sekadar soal harga, melainkan tentang keadilan dan martabat.
Dia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat untuk bersama mewujudkan kota yang terjangkau, inklusif, dan berkelanjutan.
(*)