Harga Emas Dunia Turun Hampir 6% Sehari, Dua Faktor Ini Jadi Pemicu

Harga emas dunia kembali terkoreksi untuk hari kedua berturut-turut pada perdagangan Rabu (23/10/2025)./Foto: Istock.

Jakarta, landbank.co.id – Harga emas dunia kembali terkoreksi untuk hari kedua berturut-turut pada perdagangan Rabu (23/10/2025).

Pelemahan ini terjadi setelah investor global melakukan aksi ambil untung (profit taking) pasca reli panjang yang mendorong harga emas ke rekor tertinggi sepanjang tahun.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data bursa perdagangan Kamis (23/10/2025), kontrak berjangka emas (gold futures) turun USD 43,70 atau sekitar 1,06% ke level USD 4.065,40 per ons.

Penurunan itu melanjutkan aksi jual besar-besaran sehari sebelumnya, ketika harga emas anjlok 5,74% dan ditutup di USD 4.109,10 per ons, mencatatkan performa terburuk sejak 2013.

Sebelumnya, pada Senin (21/10/2025), harga emas sempat mencatat rekor intraday tertinggi di USD 4.398 per ons, sebelum berbalik arah akibat tekanan jual dari investor besar.

Analis Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha, menjelaskan bahwa secara teknikal, emas saat ini berada dalam tren pelemahan (bearish).

Ia menuturkan bahwa harga emas diperdagangkan di kisaran USD 4.135, turun hampir 5% dari posisi tertinggi sebelumnya, bahkan sempat menyentuh level terendah harian di USD 4.081.

“Selama harga belum mampu bertahan di atas level psikologis USD 4.183, tekanan jual masih berpotensi berlanjut hingga menembus area support USD 4.000. Jika terjadi koreksi teknikal, kenaikan menuju area tersebut bisa menjadi peluang jual bagi trader yang memanfaatkan momentum retracement,” ujar Andy dalam analisis tertulisnya.

Secara teknikal, indikator Moving Average (MA) dan pola candlestick menunjukkan sinyal pelemahan yang semakin kuat pada grafik XAU/USD, mempertegas tren koreksi jangka pendek logam mulia tersebut.

Selain faktor teknikal, tekanan terhadap emas juga datang dari penguatan Dolar AS (USD). Indeks Dolar (DXY) terpantau menguat hingga mendekati 98,84, menandai kenaikan tiga hari berturut-turut terhadap enam mata uang utama dunia.

Kenaikan dolar membuat emas menjadi lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang lain, sehingga permintaan fisik terhadap emas menurun signifikan.

Selain itu, meningkatnya selera risiko (risk appetite) di pasar saham global turut menekan harga emas, karena investor mulai beralih ke aset berisiko di tengah harapan perbaikan hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

“Rally emas yang terlalu tinggi sebelumnya membuat pasar rentan terhadap aksi ambil untung. Dengan sentimen positif di pasar saham, investor sementara waktu meninggalkan aset safe haven,” tambah Andy.

Pasar global juga merespons kabar positif dari Gedung Putih mengenai potensi penundaan tarif impor 100% terhadap produk Tiongkok oleh Presiden AS Donald Trump. Harapan akan kesepakatan dagang baru di KTT APEC Korea Selatan pada akhir bulan ini turut menumbuhkan optimisme pasar.

Namun, analis memperingatkan bahwa ketidakpastian kebijakan AS–Tiongkok masih tinggi mengingat dinamika politik Washington yang mudah berubah.

Di sisi lain, kebijakan moneter longgar The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan menjadi penopang utama bagi harga emas dalam jangka menengah. Suku bunga rendah cenderung menguntungkan emas karena menurunkan biaya peluang bagi investor untuk memegang logam mulia.

Selain itu, penutupan sebagian pemerintahan AS (government shutdown) yang telah memasuki minggu keempat, serta ketegangan geopolitik dan risiko ekonomi global, masih menjaga minat investor terhadap emas sebagai aset safe haven.

Kesepakatan kerja sama senilai USD 8,5 miliar antara AS dan Australia dalam pengembangan mineral penting (rare earth) juga berpotensi memengaruhi dinamika pasar logam dan bahan baku strategis di masa depan.

Secara keseluruhan, harga emas dunia saat ini bergerak dalam rentang USD 4.000–USD 4.183 per ons dengan kecenderungan bearish jangka pendek.

Meski demikian, peluang rebound tetap terbuka apabila ketidakpastian ekonomi kembali meningkat dan mendorong investor untuk kembali ke aset aman.

“Trader perlu berhati-hati membaca momentum. Tekanan jual bisa berubah cepat menjadi rebound ketika ketidakpastian global kembali meningkat,” tutup Andy Nugraha.

(*)

Pos terkait